Pontianak, Newsonline.id.- Sebanyak tiga dari lima keluarga dengan anak stunting di Kec. Pontianak Barat mengkonsumsi kental manis sebagai susu. Hal tersebut merupakan hasil temuan kunjungan keluarga yang dilakukan oleh Pengurus Pusat (PP) bersama Pengurus Wilayah (PW) Muslimat Nahdlatul Ulama dan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), pada Jumat 2 Agustus 2024.
Kunjungan keluarga adalah bagian dari program kolaborasi YAICI bersama PP Muslimat NU yang bertujuan menggali informasi mengenai kebiasaan konsumsi keluarga yang memiliki anak yang terindikasi stunting ataupun gizi buruk. Selain itu, dilakukan juga edukasi langsung untuk orang tua mengenai pemenuhan kebutuhan gizi untuk anak.
Baca juga: Miris! Banyak Ibu di Ambon Berikan Kental Manis Sebagai Susu Kepada Bayinya
Ketua Harian YAICI Arif Hidayat mengatakan, temuan-temuan selama kunjungan keluarga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dan stakeholder terkait agar penanganan stunting di masyarakat menjadi lebih efektif.
“Kami mengunjungi lima keluarga yang memiliki anak stunting di Kec. Pontianak Barat untuk mencari tahu penyebabnya. Diantara yang dapat disampaikan adalah usia ibu saat menikah dini, diantara 16 – 18 tahun, jumlah anak lebih dari 5 dengan rentang usia pendek, serta kebiasaan konsumsi makanan minuman tinggi gula, seperti kental manis yang dijadikan sebagai susu untuk anak. Ibu masih beranggapan bahwa kental manis adalah susu,” jelas Arif Hidayat.
Kekeliruan dalam pemberian susu tersebut pada umumnya terjadi karena kebiasaan keluarga yang mengkonsumsi kental manis secara rutin. “Ada yang karena suami biasa minum kopi susu pakai kental manis, akhirnya anak ikutan konsumsi kental manis sebagai susu. Ada juga karena terpengaruh anak yang lebih besar konsumsi yang manis-manis, akhirnya anak yang lebih kecil juga terbiasa konsumsi,” beber Arif.
Selain persoalan kental manis, temuan lain yang juga menjadi perhatian adalah satu rumah yang ditempati oleh lebih dari satu keluarga dengan jumlah anak yang banyak. “Ada satu rumah yang anaknya juga stunting, ternyata rumah tersebut dihuni oleh 4 keluarga. Masing-masing keluarga sudah memiliki anak bahkan satu keluarga memiliki delapan anak, dan ditambah dengan orang tua. Jadi satu rumah tersebut ditinggali oleh sekitar 21 orang. Bagaimanapun ini tidak sehat, kami harap ini dapat menjadi perhatian pemerintah setempat,” jelas Arif.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan PJ Gubernur Kalbar dr Harrison yang dilakukan di Kantor Gubernur Propinsi Kalbar, terungkap faktor-faktor penyebab sulitnya penurunan angka stunting di Kalimantan Barat.
“Stunting di Kalbar disebabkan oleh faktor lingkunga sebanyak 40%, sebanyak 30% disebebkan oleh perilaku masyarakat dan sisanya karena layanan kesehatan,” jelas dr Harrison.
Persoalan lingkungan seperti sanitasi dan ketersediaan air bersih di beberapa kabupaten seperti Kapuas Hulu belum begitu baik sehingga meningkatkan penyakit infeksi pada balita. Sementara faktor perilaku masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang masih abai terhadap kebutuhan gizi anak.
“Di sini ikan banyak dan mudah di dapat. Tapi ikan-ikan ini lebih banyak di jual lalu dibelikan makanan instan. Lalu mengenai susu, seharusnya yang diberikan susu murni, bukan susu kental manis. Ini kan isinya gula. Ini juga kekhawatiran kita karena angka diabetes di Kalbar juga tinggi. Kedepannya bisa memicu serangan penyakit degenerative, bisa jantung, mata” jelas dr Harrison.
Ketua Majelis Kesehatan Erna Yulia Sofihara mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti temuan persoalan dari kunjungan keluarga tersebut, salah satunya melalui pendampingan keluarga. “Saat ini kami juga sedang menggencarkan program Ibu Asuh stunting. Kelima keluarga tersebut selanjutnya akan didampingi oleh satu kader yang akan memonitor, mengedukasi dan memastikan keluarga tersebut menerapkan pemberian gizi yang cukup untuk anak dan keluarga dan PHBS. Keluarga juga akan mendapat sejumlah bantuan untuk pemenuhan gizi anak,” jelas Erna.(NO01)